Problem mendasar bagi mayoritas petani Indonesia adalah
ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi
tawar petani pada saat ini umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala
dalam usaha meningkatkan pendapatan petani. Menurut Branson dan Douglas (1983),
lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang
mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang
memadai. Petani kesulitan menjual hasil panennya karena tidak punya jalur
pemasaran sendiri, akibatnya petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan
sistim ini sebanyak 40 % dari hasil penjualan panenan menjadi milik tengkulak.
Peningkatan produktivitas pertanian tidak lagi menjadi jaminan
akan memberikan keuntungan layak bagi petani tanpa adanya kesetaraan pendapatan
antara petani yang bergerak di sub sistem on farm dengan pelaku agribisnis di
sub sektor hulu dan hilir. Kesetaraan pendapatan hanya dapat dicapai dengan
peningkatan posisi tawar petani. Hal ini dapat dilakukan jika petani tidak
berjalan sendiri-sendiri, tetapi menghimpun kekuatan dalam suatu lembaga yang
betul-betul mampu menyalurkan aspirasi mereka. Oleh karena itu penyuluhan
pertanian harus lebih tertuju pada upaya membangun kelembagaan.
Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan
pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus
menjadi subjek dalam proses tersebut (Jamal, 2008). Peningkatan posisi tawar
petani dapat meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang
adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh para petani
dapat dihindarkan.
Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan petani untuk
menaikkan posisi tawar petani adalah dengan:
a.
Konsolidasi petani dalam satu wadah
untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi
sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi
semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi
produksi, dan kolektifikasi
pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan
swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan
anggotanya menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan
kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal
masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta
jeratan hutang tengkulak.
b.
Kolektifikasi produksi, yaitu
perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas
dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai
efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen.
Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi
dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan
kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat
menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan
merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
c.
Kolektifikasi dalam pemasaran produk
pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan
skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam
perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis
jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan
harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus
peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan
utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat
pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang tidak
menguntungkan.